Jean Marais dan Wanita Aceh

Aku tarik kertas skesta di hadapannya. Gambar itu membikin aku lupa pada persoalanku. Seorang serdadu Kompeni, nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada dada kurbannya. Dan bayonet itu menekan baju hitam kurbannya, dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang wanita muda. Mata wanita itu membeliak. Rambutnya jatuh terjurai di atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri mencoba meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang yang tak berdaya. Di atas mereka berdua memayungi rumpun bambu yang nampak meliuk diterjang angin kencang. Di seluruh alam ini seakan hanya mereka berdua saja yang hidup: yang hendak membunuh dan yang hendak dibunuh.

“Kejam sekali, Jean”
“Ya,” ia mendeham, kemudian menghisap rokoknya.
“Kau suka bicara tentang keindahan, Jean. Di mana keindahan suatu kekejaman, Jean?”
“Tidak sederhana keterangannya, Minke. Gambar ini bersifat sangat pribadi, bukan untuk umum. Keindahannya ada di dalam kenang-kenangan.”

“Jadi kaulah serdadu ini, Jean? Kau sendiri?”
“Aku sendiri, Minke,” ia mengangkat muka.
“Telah kau lakukan kebiadaban ini?” ia menggeleng. “Kau pembunuh wanita muda ini?” ia menggeleng lagi. “Jadi kau lepaskan dia?” ia mengangguk. “Dia akan berterima kasih padamu.”

“Tidak, Minke, dia yang minta dibunuh – gadis Aceh kelahiran pantai ini. Dia malu telah terjamah oleh kafir.”

“Tapi kau tak bunuh dia.”
“Tidak, Minke, tidak,” jawabanya lesu, dan seakan tidak ditujukan padaku, tapi pada masa lalunya sendiri yang telah jauh tak terjangkau lagi.

“Di mana perempuan itu sekarang?” tanyaku mendesak.
“Mati, Minke,” jawabnya berdukacita.

“Jadi kau sudah membunuhnya. Seorang wanita muda tidak berdaya”
“Tidak, bukan aku. Adiknya lelaki menyusup ke dalam tangsi, menikamnya dengan rencong dari samping. Dia mati seketika. Rencong itu beracun. Pembunuh itu sendiri terbunuh di bawah pekikan sendiri: MAMPUS KAFIR, PENGIKUT KAFIR!”

“Mengapa adiknya menikamnya?” Sudah lupa sama sekali aku pada kesulitanku pribadi.
“Adiknya tetap berjuang untuk negerinya, untuk kepercayaannya. Kakaknya ini tidak setelah dia menyerah. Dia mati tanpa saksi, Minke. Waktu itu anaknya sedang diajak jalan-jalan oleh tetangga. Suaminya sedang pergi bertugas.”

“Jadi perempuan ini kemudian hidup dalam tangsi Kompeni? Jadi tawanan? Jadi tawanan sampai beranak?”
“Tadinya jadi tawanan. Kemudian tidak,” jawabnya cepat.
“Jadi dia lantas kawin dengan seseorang?”
“Tidak. Dia tidak kawin.”

“Dan anak yang diajak jalan-jalan oleh tetangga itu, dari mana asalnya?”
“Anak itu bayi yang diberikannya padaku, anakku sendiri Minke.”

 

Satu scene dalam Bumi Manusia, bagian pertama dari Tetralogi Buru.
Satu di antara lain narasi yang menyajikan ke-tidak-hitam-putih-an masa perang.
Tak melulu antara Belanda “Si bottar mata”, dengan pahlawan lokal dengan “bambu runcingnya”. Mana yang menang, mana yang kalah.
Pun begitu, perang tetap menyuguhkan tragedi, dengan hilangnya banyak kehidupan di dalamnya.

Jean Marais, mantan serdadu kompeni berkebangsaan Perancis barangkali tak mengira akan jatuh cinta kepada seorang gadis Aceh, yang menjadi tawanannya. Di halaman 80 roman Pak Pram, aku belum juga tahu bagaimana persisnya dan seberapa pelik hubungan mereka. Kisah sepintas dalam dialog yang singkat antara Mingke dan Jean, cukup menyisakan rasa nelangsa.

Bisa saja kita mengesampingkan kisahnya, toh Bumi Manusia lahir dari khayalan pak Pram.
Tapi kejadian di dalamnya, pasti jamak terjadi di masa perang. Atau bahkan masa sekarang. Tidak jarang kehidupan dihilangkan, atas nama kehormatan dan kepercayaan.

Lupa, bahwa kehormatan, kepercayaan, semuanya di bawah kemanusiaan dan kehidupan.

Jean, si mantan serdadu yang menjadi pengrajin ukiran dan lukisan, memahami cinta dan anugerahnya. Cinta yang harus berakhir dengan kematian gadis yang dicintainya, tapi juga cinta yang menganugerahkan seorang anak perempuan baginya.

Jean, dengan kaki yang hanya tersisa satu, memahami,

Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya.

Leave a Reply