Jean Marais dan Wanita Aceh

Aku tarik kertas skesta di hadapannya. Gambar itu membikin aku lupa pada persoalanku. Seorang serdadu Kompeni, nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada dada kurbannya. Dan bayonet itu menekan baju hitam kurbannya, dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang wanita muda. Mata wanita itu membeliak. Rambutnya jatuh terjurai di atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri mencoba meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang yang tak berdaya. Di atas mereka berdua memayungi rumpun bambu yang nampak meliuk diterjang angin kencang. Di seluruh alam ini seakan hanya mereka berdua saja yang hidup: yang hendak membunuh dan yang hendak dibunuh.

“Kejam sekali, Jean”
“Ya,” ia mendeham, kemudian menghisap rokoknya.
“Kau suka bicara tentang keindahan, Jean. Di mana keindahan suatu kekejaman, Jean?”
“Tidak sederhana keterangannya, Minke. Gambar ini bersifat sangat pribadi, bukan untuk umum. Keindahannya ada di dalam kenang-kenangan.”

“Jadi kaulah serdadu ini, Jean? Kau sendiri?”
“Aku sendiri, Minke,” ia mengangkat muka.
“Telah kau lakukan kebiadaban ini?” ia menggeleng. “Kau pembunuh wanita muda ini?” ia menggeleng lagi. “Jadi kau lepaskan dia?” ia mengangguk. “Dia akan berterima kasih padamu.”

“Tidak, Minke, dia yang minta dibunuh – gadis Aceh kelahiran pantai ini. Dia malu telah terjamah oleh kafir.”

Read More