Ubi est tu, Koin Kuno Luxembourg-ku? (Part 2)

Koin Luxembourg keberuntunganku tetap setiap di kantongku, bahkan ke sekolah juga tak pernah lupa kubawa. Meskipun ternyata tidak ada keberuntungan yang spesial kualami setelah mengantonginya, selalu terasa tidak klop jika tidak membawanya. Begitu juga imajinasiku tentang si empunya sebelumnya. Tapi selanjutnya, imajinasi berganti menjadi misteri kecil yang kurahasiakan sendiri.

Beberapa hari setelah menemukan si koin…

Seperti biasa sepulang sekolah, aku harus membantu orangtuaku bekerja di satu-satunya ladang yang kami punyai. Dan di tengah-tengah ladang kopi tersebut terletaklah makam dari Oppung (orangtua dari ayahku). Kami menyebutnya simin, yaitu bangunan makam yang menjadi tempat tulang belulang leluhur, setelah digali dari kuburan tanah sebelumnya. Hal yang pasti bakal dinilai aneh jika terlihat orang lain adalah, aku suka bertingkah seolah roh Oppungku hadir di situ. Aku akan mengajak mereka ngobrol. Tidak lupa aku menceritakan penemuan koinku. Sesekali tidur di samping ruang yang menjadi tempat tulang belulang. Sama sekali tidak ada rasa takut karena aku merasa mereka tidak akan marah. Toh, aku adalah cucu mereka. Tetap saja, barangkali akan lain ceritanya kalau tiba-tiba mereka nongol dan membalas pembicaraanku. Hahaha…

Read More

Ubi est tu, Koin Kuno Luxembourg-ku?

Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, ada satu kebiasaan kecil yang sering kulakukan, utamanya setiap hari Kamis. Hari Kamis, karena di kampungku nun jauh di Sumatera Utara, tepatnya di pelosok Sihemun Baru, biasanya jadi hari “libur dari bekerja di ladang”, karena bertepatan dengan hari pekan (kami menyebutnya tiga, lokasinya di Sibuntuon).

Kebiasaan kecil itu berupa “bertualang” ke bagian perbatasan kampungku Kampung Baru (sekarang bernama Sihemun Baru), dengan kebun teh Sidamanik. Kebun Teh ini adalah peninggalan Belanda yang dinasionalisasi Indonesia setelah merdeka. Barangkali karena memang terlahir penyendiri dan introvert, saat para abang dan itoku ngumpul dengan para temannya, aku akan pergi sendirian ke arah toruan, ke perbatasan kampung kami dengan tolu pulu sia (sebutan lokal untuk perkebunan Sidamanik blok no. 39). Di perbatasan itulah, ke arah utara akan terbentang lombang (jurang) yang cukup curam. Aku akan duduk di tepi lombang, mendengarkan kicauan burung-burung, jangkrik yang bersahut-sahutan, dan sesekali pekikan gerombolan bodat (monyet) dan juga here (orangutan) yang sedang melintas.  Pemandangan itu kulihat di ladang. Di ladang kami dulu, hanya ada pohon kopi robusta dari ujung ke ujung. Berhubung ladang itulah satu-satunya yang dimiliki orangtuaku, cukup menjemukan melihat pemandangan pohon kopi yang itu-itu saja. Hewan yang kelihatan pun palingan anduhur (puyuh), layang-layang (walet), tupai, dan sesekali ular.

Tapi tidak di lombang ini. Banyak jenis pohon yang aku bahkan tidak tahu namanya. Tidak jarang aku melihat jenis burung sebesar merak, dengan bulu warna-warni yang tidak pernah aku lihat di buku-buku sekolah, termasuk di buku berisi gamba-gambar Binatang (yang aku curi) dari kantor sekolah. Paling mendebarkan adalah saat gerombolan monyet itu lewat. Mereka akan menjerit bersahut-sahutan sambil bergelantungan di pohon menuju ke arah dolok. Kalau kebetulan mereka melihat aku duduk, mereka akan diam sebentar menatap aku waspada. Barangkali mereka pikir aku adalah salah satu pemburu monyet atau tupai.

Read More

Jean Marais dan Wanita Aceh

Aku tarik kertas skesta di hadapannya. Gambar itu membikin aku lupa pada persoalanku. Seorang serdadu Kompeni, nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada dada kurbannya. Dan bayonet itu menekan baju hitam kurbannya, dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang wanita muda. Mata wanita itu membeliak. Rambutnya jatuh terjurai di atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri mencoba meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang yang tak berdaya. Di atas mereka berdua memayungi rumpun bambu yang nampak meliuk diterjang angin kencang. Di seluruh alam ini seakan hanya mereka berdua saja yang hidup: yang hendak membunuh dan yang hendak dibunuh.

“Kejam sekali, Jean”
“Ya,” ia mendeham, kemudian menghisap rokoknya.
“Kau suka bicara tentang keindahan, Jean. Di mana keindahan suatu kekejaman, Jean?”
“Tidak sederhana keterangannya, Minke. Gambar ini bersifat sangat pribadi, bukan untuk umum. Keindahannya ada di dalam kenang-kenangan.”

“Jadi kaulah serdadu ini, Jean? Kau sendiri?”
“Aku sendiri, Minke,” ia mengangkat muka.
“Telah kau lakukan kebiadaban ini?” ia menggeleng. “Kau pembunuh wanita muda ini?” ia menggeleng lagi. “Jadi kau lepaskan dia?” ia mengangguk. “Dia akan berterima kasih padamu.”

“Tidak, Minke, dia yang minta dibunuh – gadis Aceh kelahiran pantai ini. Dia malu telah terjamah oleh kafir.”

Read More