Ubi est tu, Koin Kuno Luxembourg-ku?

Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, ada satu kebiasaan kecil yang sering kulakukan, utamanya setiap hari Kamis. Hari Kamis, karena di kampungku nun jauh di Sumatera Utara, tepatnya di pelosok Sihemun Baru, biasanya jadi hari “libur dari bekerja di ladang”, karena bertepatan dengan hari pekan (kami menyebutnya tiga, lokasinya di Sibuntuon).

Kebiasaan kecil itu berupa “bertualang” ke bagian perbatasan kampungku Kampung Baru (sekarang bernama Sihemun Baru), dengan kebun teh Sidamanik. Kebun Teh ini adalah peninggalan Belanda yang dinasionalisasi Indonesia setelah merdeka. Barangkali karena memang terlahir penyendiri dan introvert, saat para abang dan itoku ngumpul dengan para temannya, aku akan pergi sendirian ke arah toruan, ke perbatasan kampung kami dengan tolu pulu sia (sebutan lokal untuk perkebunan Sidamanik blok no. 39). Di perbatasan itulah, ke arah utara akan terbentang lombang (jurang) yang cukup curam. Aku akan duduk di tepi lombang, mendengarkan kicauan burung-burung, jangkrik yang bersahut-sahutan, dan sesekali pekikan gerombolan bodat (monyet) dan juga here (orangutan) yang sedang melintas.  Pemandangan itu kulihat di ladang. Di ladang kami dulu, hanya ada pohon kopi robusta dari ujung ke ujung. Berhubung ladang itulah satu-satunya yang dimiliki orangtuaku, cukup menjemukan melihat pemandangan pohon kopi yang itu-itu saja. Hewan yang kelihatan pun palingan anduhur (puyuh), layang-layang (walet), tupai, dan sesekali ular.

Tapi tidak di lombang ini. Banyak jenis pohon yang aku bahkan tidak tahu namanya. Tidak jarang aku melihat jenis burung sebesar merak, dengan bulu warna-warni yang tidak pernah aku lihat di buku-buku sekolah, termasuk di buku berisi gamba-gambar Binatang (yang aku curi) dari kantor sekolah. Paling mendebarkan adalah saat gerombolan monyet itu lewat. Mereka akan menjerit bersahut-sahutan sambil bergelantungan di pohon menuju ke arah dolok. Kalau kebetulan mereka melihat aku duduk, mereka akan diam sebentar menatap aku waspada. Barangkali mereka pikir aku adalah salah satu pemburu monyet atau tupai.

Memang ada beberapa pemuda kampung yang memiliki senapan angin dan suka berburu tupai, galot dan sesekali monyet. Mungkin itu hadiah dari orangtua mereka. Yang pasti aku tidak pernah berani bermimpi untuk dibelikan barang mewah seperti itu. Dibelikan gorengan dari tiga saja oleh Oma udah amat bahagia rasanya, meskipun kadang berakhir dengan sesi rebutan, berantem dan ngambek dengan para abang dan itoku.

Kembali ke monyet. Biasanya mereka akan bosan melihatku diam saja, dan kembali melanjutkan gelantungan mereka. Begitu juga saat yang lewat adalah here,  biasanya satu atau dua ekor, mereka akan acuh dan tidak mempedulikan kehadiranku. Kecuali sekali peristiwa, ada satu ekor here yang bergerak lebih cepat dari biasa. Dia berhenti sekitar sepuluh meter dari posisiku. Aku mulai sedikit gugup saat here yang badannya lebih besar dariku itu mulai berjalan perlahan mendekat. Kuangkat dahan kayu kering yg kebetulan ada di samping, pura-pura hendak kulempar ke arahnya. Here tersebut berhenti, tapi matanya masih mengawasi. Pelan-pelan aku mundur, saat jarak kurasa aman aku langsung lari tunggang langgang pulang ke rumah.

Di lain kesempatan, masih hari Kamis, aku kembali lagi ke tempat itu. Aku duduk lagi di bawah batang pohon yang rindang, kalau tidak salah ingat adalah pohon beringin, menikmati keasyikan tersendiri saat memandangi lombang ini. Disinilah, saat hendak membersihkan akar pohon tersebut untuk tempat duduk, aku menemukan sesuatu. Sebuah koin berwarna tembaga dengan angka 5 di satu sisi, dan gambar singa di sisi lainnya. Dari tulisan yang ada, yang aku ingat hanya kata LUXEMBOURG. Aku serasa menemukan harta karun. Masa itu aku hanya sering melihat koin 25, 50 dan 100 perak. Tapi ini warna dan bahasa tulisannya juga bukan bahasa Indonesia.

Aku membayang-bayangkan siapakah pemilik koin ini. Mungkin dulu ada seorang pasukan kompeni Belanda yang terdesak dan melarikan diri ke arah lombang ini. Mungkin dia sempat beristirahat di bawah pohon yang sama, yang pernah aku duduki. Aku bayangkan dia terluka, cucuran darahnya membuatnya tidak memperhatikan koinnya yang tercecer. Mungkin dia tertangkap pasukan pangulubalang Batak, mungkin sudah dibunuh, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang muncul dalam imajinasi kecilku. Aku serasa jadi tokoh utama dalam suatu kisah, yang meneruskan kisah-kisah menakjubkan para pemegang koin tersebut. Aku langsung menyimpan koin ini baik-baik, dan sejak itu menganggapnya sebagai jimat atau koin keberuntungan, dan selalu kubawa di kantongku kemana-mana.

Leave a Reply